Kali Progo. Mungkin
banyak yang belum mengetahui dimana letaknya. Kali ini melewati Daerah Istimewa
Yogyakarta dan juga jawa Tengah. Luasnya kira-kira 2300 km2 . Dengan
kalinya yang besar membuat daerah di sekitar Kali Progo cocok untuk
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Lalu apa hubungannya kaliprogo dengan
coklat dan air kapur?
Mungkin tidak
berarti apa-apa bagi sebagian besar dari kalian. Tapi percayalah, ketiga hal
diatas merupakan sajak-sajak berarti bagi seorang lelaki, merupakan euforia
pada sebuah ketidakcanduan baginya, seperti bunga yang mekar di musim gugur.
Semuanya berarti bagi lelaki ini, yang sedang menjalankan tugasnya di sebuah
daerah yang, sebut saja namanya Triwidadi, daerah di sekitar kota Bantul, Yogyakarta.
Semua bermula ketika
lelaki berdarah Jawa yang besar di Kalimantan ini mendapatkan tugas dari
universitasnya untuk melakukan pengabdian masyarakat selama kurang lebih 2 bulan.
Dengan segala persiapan dan tetek-bengeknya, sebuah tim pengabdian masyarakat
terbentuk, yang terdiri dari 25 orang dengan latar belakang berbeda-beda untuk
satu tujuan : mengabdi pada masyarakat.
Saat itulah
sang lelaki pemalu itu menemukannya, pertemuan pertama yang cukup menegangkan.
Pertemuan pertama yang membuat si lelaki hanya bisa mengintipnya sesekali di
riuh ramainya tempat makan dimana si lelaki mengadakan pertemuan untuk pertama
kali. Ini karena dia, wanita itu, wanita yang nantinya akan membuat si lelaki
tak bisa melupakan kali progo, cukup memberikan kesan dingin padanya. Dengan
sedikit bicara, dan senyum, si lelaki hanya bisa mengamati si wanita pada
pertemuan pertama mereka pada jarak tak sampai 1 meter, jarak yang cukup untuk
mengajak orang lain berbicara. Tapi hal ini tidak dilakukan sang lelaki. Ia
malu.
*****
Pengabdian
masyarakat berjalan.
Selang 3
minggu, didapatkan bahwa air sumur yang dikonsumsi oleh warga di sekitar tempat
pengabdian si lelaki mengandung unsur kapur yang sangat banyak, di luar batas
normal. Kebetulan orang yang melakukan penelitian terhadap hal ini adalah dia, si
wanita. Entah kebetulan atau memang Tuhan sedang ingin bermain-main dengannya,
si lelaki terpilih menjadi ketua dari kelompok keilmupastian dalam tim
pengabdian masyarakat tersebut. Mau tidak mau, si lelaki tadi harus membantu
penelitian wanita tersebut. Di sinilah kata-kata air kapur mulai menulis
bagiannya dalam diri lelaki. Kalimat yang terdengar ke-keilmupastian itu seolah
terus berusaha menjerat lelaki tersebut., tanpa ampun.
Lalu dimulai,
bagian kehidupan dimana drama-drama di televisi bisa dibuat sangat indah dan
syahdu, bagian yang membuat novel karya novelis asing semacam Shakespeare, maupun novelis dalam negeri semacam Bernard Batubara
menjadi semakin dinikmati, dihayati. Seiring dengan berjalannya penelitian,
perlahan-lahan si lelaki mulai mengenalnya. Seperti benih-benih tumbuhan yang
tumbuh dengan lambatnya, si lelaki tadi juga perlahan-lahan menumbuhkan
benih-benih kekaguman pada wanita tersebut. Kagum akan parasnya, sifatnya,
ketegasannya, senyumnya, nada bicaranya.
Semakin sering
kedua insan Tuhan ini berbicara, mengenalkan dirinya masing-masing terhadap
satu sama lain, meperlihatkan pandangan hidup masing-masing. Semakin terikat
pula si lelaki tadi padanya. Sampai suatu saat mereka berdua memiliki
kesempatan untuk duduk berdua, dibawah rindangnya pohon kelapa, di atas tanah
berkapur, di redupnya sinar matahari, di pinggir Kali Progo.
Yang diminta
si wanita saat itu hanya satu, ya, tak lain dan tak bukan adalah sebatang
coklat, coklat yang manis, semanis wanita itu. Menikmati sebatang coklat, kedua
mahluk Tuhan ini bercerita, terus bercerita sampai matahari tenggelam, sampai
arus aliran kali progo tidak lagi deras, sampai pepohonan mulai beristirahat
dari kerja kerasnya di siang hari memberikan udara secara cuma-Cuma. Begitu
terikatnya si lelaki sampai-sampai harapan untuk memiliki wanita ini makin
besar. Harapan-harapan yang bisa jadi bakal terbuang sia-sia. Harapan kosong
yang bahkan si lelaki pun tahu ia terlalu bodoh untuk mempercayainya. Seperti
tipuan mata yang indah, meskipun palsu, tetap saja indah. Ya. Si wanita tadi
sudah memiliki kekasih.
Malam turun,
makin lama makin larut. Bulan sudah mulai menyapa para pemeluk bumi. Si lelaki
tadi mulai beranjak dari tempat duduknya, mengajak si wanita itu untuk kembali
ke penginapan masing-masing. Di jalanan pulang berupa tangga-tangga batu, si
lelaki merasakan langkahnya semakin berat, seakan tidak rela meninggalkan momen
tadi, momen indah dimana seakan tidak ada pembatas diantara mereka berdua.
Terlalu indah bahkan untuk dibayangkan oleh akal sehat lelaki itu. Dan untuk
terakhir kali ia menoleh kebelakang, mengucapkan selamat tinggal pada kenangan
yang hinggap disana.
Tapi biarlah, biarkan angin tetap
berhembus menyimpan rahasianya. Biarkan dia, kali progo dan Tuhan yang tau.
“TETAPLAH TERSENYUM, AGAR AKU DAN KALI PROGO BISA MENGINGATMU”
Jogjakarta, 25 Agustus 2013