Minggu, 25 Agustus 2013

Coklat, Air Kapur dan Kali Progo



Kali Progo. Mungkin banyak yang belum mengetahui dimana letaknya. Kali ini melewati Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga jawa Tengah. Luasnya kira-kira 2300 km2 . Dengan kalinya yang besar membuat daerah di sekitar Kali Progo cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Lalu apa hubungannya kaliprogo dengan coklat dan air kapur?

Mungkin tidak berarti apa-apa bagi sebagian besar dari kalian. Tapi percayalah, ketiga hal diatas merupakan sajak-sajak berarti bagi seorang lelaki, merupakan euforia pada sebuah ketidakcanduan baginya, seperti bunga yang mekar di musim gugur. Semuanya berarti bagi lelaki ini, yang sedang menjalankan tugasnya di sebuah daerah yang, sebut saja namanya Triwidadi, daerah di sekitar kota Bantul, Yogyakarta.

Semua bermula ketika lelaki berdarah Jawa yang besar di Kalimantan ini mendapatkan tugas dari universitasnya untuk melakukan pengabdian masyarakat selama kurang lebih 2 bulan. Dengan segala persiapan dan tetek-bengeknya, sebuah tim pengabdian masyarakat terbentuk, yang terdiri dari 25 orang dengan latar belakang berbeda-beda untuk satu tujuan : mengabdi pada masyarakat.

Saat itulah sang lelaki pemalu itu menemukannya, pertemuan pertama yang cukup menegangkan. Pertemuan pertama yang membuat si lelaki hanya bisa mengintipnya sesekali di riuh ramainya tempat makan dimana si lelaki mengadakan pertemuan untuk pertama kali. Ini karena dia, wanita itu, wanita yang nantinya akan membuat si lelaki tak bisa melupakan kali progo, cukup memberikan kesan dingin padanya. Dengan sedikit bicara, dan senyum, si lelaki hanya bisa mengamati si wanita pada pertemuan pertama mereka pada jarak tak sampai 1 meter, jarak yang cukup untuk mengajak orang lain berbicara. Tapi hal ini tidak dilakukan sang lelaki. Ia malu.

*****

Pengabdian masyarakat berjalan.
 Selang 3 minggu, didapatkan bahwa air sumur yang dikonsumsi oleh warga di sekitar tempat pengabdian si lelaki mengandung unsur kapur yang sangat banyak, di luar batas normal. Kebetulan orang yang melakukan penelitian terhadap hal ini adalah dia, si wanita. Entah kebetulan atau memang Tuhan sedang ingin bermain-main dengannya, si lelaki terpilih menjadi ketua dari kelompok keilmupastian dalam tim pengabdian masyarakat tersebut. Mau tidak mau, si lelaki tadi harus membantu penelitian wanita tersebut. Di sinilah kata-kata air kapur mulai menulis bagiannya dalam diri lelaki. Kalimat yang terdengar ke-keilmupastian itu seolah terus berusaha menjerat lelaki tersebut., tanpa ampun.

Lalu dimulai, bagian kehidupan dimana drama-drama di televisi bisa dibuat sangat indah dan syahdu, bagian yang membuat novel karya novelis asing semacam Shakespeare,  maupun novelis dalam negeri semacam Bernard Batubara menjadi semakin dinikmati, dihayati. Seiring dengan berjalannya penelitian, perlahan-lahan si lelaki mulai mengenalnya. Seperti benih-benih tumbuhan yang tumbuh dengan lambatnya, si lelaki tadi juga perlahan-lahan menumbuhkan benih-benih kekaguman pada wanita tersebut. Kagum akan parasnya, sifatnya, ketegasannya, senyumnya, nada bicaranya.

Semakin sering kedua insan Tuhan ini berbicara, mengenalkan dirinya masing-masing terhadap satu sama lain, meperlihatkan pandangan hidup masing-masing. Semakin terikat pula si lelaki tadi padanya. Sampai suatu saat mereka berdua memiliki kesempatan untuk duduk berdua, dibawah rindangnya pohon kelapa, di atas tanah berkapur, di redupnya sinar matahari, di pinggir Kali Progo.

Yang diminta si wanita saat itu hanya satu, ya, tak lain dan tak bukan adalah sebatang coklat, coklat yang manis, semanis wanita itu. Menikmati sebatang coklat, kedua mahluk Tuhan ini bercerita, terus bercerita sampai matahari tenggelam, sampai arus aliran kali progo tidak lagi deras, sampai pepohonan mulai beristirahat dari kerja kerasnya di siang hari memberikan udara secara cuma-Cuma. Begitu terikatnya si lelaki sampai-sampai harapan untuk memiliki wanita ini makin besar. Harapan-harapan yang bisa jadi bakal terbuang sia-sia. Harapan kosong yang bahkan si lelaki pun tahu ia terlalu bodoh untuk mempercayainya. Seperti tipuan mata yang indah, meskipun palsu, tetap saja indah. Ya. Si wanita tadi sudah memiliki kekasih.

Malam turun, makin lama makin larut. Bulan sudah mulai menyapa para pemeluk bumi. Si lelaki tadi mulai beranjak dari tempat duduknya, mengajak si wanita itu untuk kembali ke penginapan masing-masing. Di jalanan pulang berupa tangga-tangga batu, si lelaki merasakan langkahnya semakin berat, seakan tidak rela meninggalkan momen tadi, momen indah dimana seakan tidak ada pembatas diantara mereka berdua. Terlalu indah bahkan untuk dibayangkan oleh akal sehat lelaki itu. Dan untuk terakhir kali ia menoleh kebelakang, mengucapkan selamat tinggal pada kenangan yang hinggap disana.
Tapi biarlah, biarkan angin tetap berhembus menyimpan rahasianya. Biarkan dia, kali progo dan Tuhan yang tau.


“TETAPLAH TERSENYUM, AGAR AKU DAN KALI PROGO BISA MENGINGATMU”


 


Jogjakarta, 25 Agustus 2013

Pena Yang Mulai Pudar



Harus mulai dari mana ya?

Baik, saya seorang mahasiswa di salah satu Universitas ternama di Jogjakarta, mahasiswa tingkat akhir yang, mungkin, sebentar lagi bakal ketemu sama dunia nyata diluar sana.

Saya bukan orang puitis yang kalo udah ngerangkai kata bisa buat cewek klepek-klepek, secara muka saya dibawah rata-rata, meskipun kata ibu saya saya lelaki yang tampan (setelah kakak saya).

Saya juga bukan orang yang rajin baca literatur-literatur asing, literatur kuliah aja bisa dihitung jari berapa kali udah dibaca.

Tapi saya cuma ingin membagikan fragmen-fragmen kehidupan yang udah saya lalui ke orang-orang diluar sana.

Kayaknya segitu aja, selamat menikmati, selamat membaca.



Jogjakarta, 25 Agustus 2013